Senjata Kesabaran Hadapi Rintangan: KH. Qosim Bukhori, Pendiri Pondok Pesantren Raudlatul Ulum II, Gondanglegi Kab. Malang

By Admin | 06 August 2025 10:50:51 | 10 | 0
ilustrasi oleh tim media ummat
ilustrasi oleh tim media ummat

Dalam memperjuangkan agama di masyarakat, selalu ada rintangan dan tantangan. Perlu strategi dan sikap bijak agar dakwah tetap tersampaikan. Salah satunya adalah kesabaran. Inilah senjata yang digunakan Kyai Qasim Bukhori dalam perjuangan dakwahnya. KH. Qosim Bukhori lahir pada tahun 1942 di Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang. Kyai Qosim kecil dibesarkan di kalangan keluarga pesantren. Pendidikan awal diterima dari abahnya sendiri, KH. Bukhori Ismail. Sang ayah, seorang mursyid Thoriqoh Naqsabandiyah itu, mengajarkan dasar-dasar ilmu agama, terutama pelajaran membaca Al-Qur’an dan tajwidnya serta ilmu tata krama dalam kehidupan (al-akhlak al-karimah). Sejak masa kecil, Kyai Qosim selalu mengikuti dan sering membantu  sang ayah ketika beribadah. Beliau biasa membawakan lampu teplok ketika Kyai Bukhori berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat malam. “Entah, saya merasa kasihan saja sama abah. Dan ingin membantunya,” kata beliau pada suatu waktu mengenai kebiasaan beliau sering menolong sang abah. Berkelana Tholabul Ilmi Pada tahun 1950 Kyai Qasim belajar di Madrasah Miftahussyibyan yang berada di dekat rumahnya. Madrasah yang berganti nama menjadi madrasah Raudlatul Ulum itu didirikan oleh tokoh-tokoh masyarakat desa Ganjaran, antara lain abahnya sendiri, KH. Bukhori Ismail, KH. Yahya Syabrawi dan KH. As’ad. Di samping belajar di madrasah tersebut, beliau juga menghabiskan waktu kecilnya di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I yang terletak sebelah selatan rumahnya. Pesantren ini diasuh oleh Kyai Yahya Syabrawi yang tidak lain merupakan kakak iparnya sendiri. Saat berada di pesantren, kesungguhan Kyai Qosim Bukhori dalam menimba ilmu agama sudah tampak, terutama ilmu tasawwuf. Hal itu sebagaimana beliau ungkapkan kepada putra-putranya dan kepada masyarakat luas dalam kesempatan pengajian. “Saya ngaji kitab Hikam karangan Syaikh Ibn Atoillah kepada Kyai Yahya Syabrawi lebih dari sepuluh kali. Bagitu khatam, diulang. Bagitu seterusnya. Maka kalau sekarang mengaji kitab Hikam hanya sekali, lebih-lebih tidak khatam, ya nggak ada apa-apanya,” ungkap beliau. Kyai Qosim tidak saja ber”tabaruk ilmu” (mencari barokah ilmu) kepada ayahanda, KH. Bukhori Isma’il dan kakak iparnya, KH. Yahya Syabrawi, tetapi beliau juga mengaji kepada saudara kandung yang tertua, KH. Zainulloh Bukhori.   Kyai Qosim muda pada kurun waktu 1956 melanjutkan pendidikan ilmu agamanya di Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang yang diasuh oleh KH. Ramli Tamim dan putranya KH. Mustain Ramli. Kedua guru beliau ini selain dipandang sebagai tokoh NU, juga dikenal mursyid (pembimbing rohani) thoriqoh Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah. Pada tahun 1963 beliau boyong dari pesantren yang merupakan salah satu pondok pesantren besar di Jawa itu. Perburuan mencari ilmu yang dilakukan oleh Kyai Qosim Bukhori tidak berhenti sampai di situ saja. Beliau masih meneruskan berkelana dengan nyantri kepada KH. Mujib Abbas, Buduran Sidoarjo selama satu tahun. Di samping itu, beliau pernah duduk di bangku kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Tetapi karena kondisi perpolitikan Indonesia ketika itu masih kacau oleh berbagai pemberontakan yang dilakukan oleh PKI, membuat perkembangan dunia pendidikan tidak lagi kondusif. Oleh karena itulah, Kyai Qosim Bukhori lebih memilih meninggalkan alam akademisi  yang selama tiga tahun digelutinya. Sederhana Tapi Tegas Selain ketelatenan dalam mengaji kitab kuning, selam di pondok, Kyai Qosim terlatih hidup sederhana. Menurut cerita Bapak Abd Qowi dari daerah Pagedangan, suatu malam Kyai Qosim Bukhori mengajak dirinya untuk memasak nasi dan beliau yang akan mencari lauk-pauknya. Bapak Abd Qowi bertanya, “Gus, nasi ini mau dimakan dengan apa?” Lalu beliau menjawab, “Sebentar, saya ke belakang.” Tak lama kemudian beliau membawa tiga helai bayam mentah dan beberapa lombok. “Lho, Gus bagaimana ini?” tanya alumni pesantren Raudlatul Ulum I yang kini telah menjadi tokoh di daerahnya itu. “Sudahlah!, kita makan dengan ini saja,” jawab beliau dengan tenang. Sepulang dari Peterongan, Kyai Qosim sebelum menikah biasanya berada di Pesantren Raudlatul Ulum I. Di pesantren asuhan kakak iparnya, KH. Yahya Syabrawi itu, Kyai Qosim sangat tegas dalam hal peraturan yang berkaitan dengan masalah syar’i, seperti kewajiban sholat berjamaah. Menurut KH. Romli, seorang alumni Pesantren Raudlatul Ulum I asal Sumber Manjing, Kyai Qosim tidak segan-segan akan melempar batu bata kepada seorang santri yang diketemukan tidak ikut sholat berjamaah. Di daun pintu kamar 1-A, kamar yang beliau tempati terpampang tulisan: Santri wajib; 1) mengikuti sholat berjamaah, 2) mengikuti musyawarah. Masih menurut cerita pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Seddeng Bangkalan Madura itu, pernah suatu waktu Kyai Qosim Bukhori melihat seorang santri sedang memasak nasi padahal saat itu jam wajib musyawarah bagi semua santri. Menyaksikan ada santri yang tidak menaati peraturan pesantren, tanpa berbasa-basi, Kyai Qosim menendang kendil yang sedang dibakar, karuan saja sang santri lari terbirit-birit ketakutan. Teruji dengan Kesabaran Kyai Qosim kemudian mendirikan Pesantren di Putukrejo. Atas saran Kyai Yahya Syabrowi, pesantrennya dinamakan Pondok Pesantren Raudlatul Ulum II. Di awal pendirian pesantren, cobaan datang mendera Kyai Qosim. Mula-mula keberadaan Kyai Qosim ini sering dicemo’oh oleh sebagian masyarakat sekitar pesantren. Menurut mereka, Kyai Qosim terlalu kemajon mendirikan pesantren padahal di mata mereka keberadaan beliau di desa Putukrejo dinilai pendatang baru. Menurut cerita Ibu Nyai Zainab, pernah pada suatu hari Kyai Qosim Bukhori menerima surat yang isinya mempersoalkan keberadaan beliau. Menurut penilaian penulis surat itu sebagai orang baru di desa Putukrejo jangan banyak bertingkah dengan mendirikan sebuah pesantren. Herannya, menurut Ibu Nyai Zainab, meski sudah disampaikan ada surat isinya demikian, raut wajah Kyai Qosim Bukhori tidak tanpa ada perubahan apa-apa dan beliau hanya bilang, “Ya, nggak apa-apa. Lha wong hanya begitu saja.” Rintangan yang dihadapi tidak saja menimpa Kyai Qosim Bukhori secara pribadi, tetapi juga para santri sering menerima dan mengalami semacam teror fisik. Meskipun Kyai Qosim Bukhori didera dengan berbagai cobaan sedemikian berat, tetapi tidak tampak dari beliau tanda-tanda kemarahan, dan kekesalan. Justeru rintangan yang menimpa dirinya, beliau hadapi dengan tingkat kesabaran yang cukup tinggi tanpa rasa dendam sedikitpun. Bahkan pernah KH. Fudloli Bukhori, kakak beliau, memberitahukan bahwa adiknya itu dicaci-maki orang, tetapi dengan tetap tenang beliau mendengar dan menerima kabar tersebut. Melihat kesabaran ini, sang kakak kemudian menjadi heran, “Kenapa kamu ini? dicacimaki orang tetapi tetap tabah,” tanya Kyai Fudloli Bukhori. “Saya ingat bagaimana kesengsaraan Rasulullah dalam memperjuangkan Islam. Apa yang menimpa saya nggak ada apa-apanya dibandingkan yang beliau terima”.  Subhanallah. (*)

TAG