Wajah Menghadap Ka’bah, Hati Fokus Kepada Allah (Bagian 2)

By Opini Ummah | 29 September 2025 14:15:41 | 11 | 0
ilustrasi oleh tim
ilustrasi oleh tim

LANJUTAN...

Penentuan kiblat ke Ka’bah yang terletak pada titik tengah bumi telah menciptakan tatanan dan persatuan yang amat indah dan harmonis. Saat waktu shalat datang, segenap muslim menghadap ke Ka’bah sebagai pusat bumi. Kalau saja kita dapat melihat dari dunia luar, kita akan menyaksikan deret barisan-barisan yang indah, yang menghadap kepada satu titik, yaitu Ka’bah, sementara hari mereka menghadap (tawajjuh) kepada satu pusat, yakni Allah.

Kendati demikian, kemestian menghadap ke Ka’bah tidak bersifat mutlak. Artinya, ketika seseorang tidak tahu arah Kab’bah, ia boleh menghadap kea rah yang diyakininya sebagai arah Ka’bah, setelah lebih dahulu melakukan ijtihad untuk menentukan arah itu.

Allah SAW berfirman, “Kemana pun kamu menghadap, di sana ada wajah Allah.” (QS. Al-Baqarah [2] : 115). Sebagian ulama berpendapat, ayat ini berkaitan dengan suatu peristiwa ketika beberapa sahabat tidak mengetahui arah kiblat di tengah kegelapan malam. Masing-masing mendirikan shalat sesuai dengan keyakinannya. Usai shalat subuh para sahabat menceritakan peristiwa itu kepada Nabi SAW dan turunlah ayat tadi.

Ayat di atas menyiratkan makna bahwa ibadah seorang muslim tertuju hanya kepada Allah, bukan kepada Ka’bah. Ka’bah hanyalah arah bagi kaum muslim untuk menghadapkan wajah

dan tubuhnya dalam shalat, sementara shalat itu sendiri ditujukan hanya kepada Allah.

 

Kiblat Lahir dan Batin

Berdasarkan pengertian inilah kaum sufi menyebutkan dua macam kiblat, yaitu kiblat lahir dan kiblat batin. Kiblat lahir atau kiblat wajah adalah Baitullah di Makkah, sedangkan kiblat hati atau kiblat batin adalah hadirat Ilahi. Menghadap ke Ka’bah merupakan salah satu kriteria penentu keabsahan shalat, tetapi yang memberikan makna shalat adalah menghadapkan hati kepada Allah.

Tawajjuh lahir ke Ka’bah dan tawajjuh batin kepada Allah harus senantiasa berbarengan. Tetapi, kenyataannya, keterpisahan tidak dapat dihindari. Banyak orang yang menghadap ke arah Ka’bah, tetapi hatinya berkelana entah kemana. Tidak sedikit orang yang terlihat begitu mantap dalam shalat, tetapi pikirannya mengembara jauh dari Kiblat hatinya dan tiba-tiba saja shalatnya sudah berakhir. Ka’bah yang menjadi kiblat fisik tidak pernah pindah dari tempatnya semula, dan mushalli tetap menghadap ke arahnya selama shalat. Tetapi, arah hati manusia berubah setiap saat. Kadang-kadang ia menghadap kepada Allah, tetapi beberapa detik kemudian arah hatinya sudah berpaling ke dunia yang serba-ganda. Karena itulah Nabi SAW memperingatkan, “Sesungguhnya Allah menghadap kepada mushalli selama ia tidak berpaling dari-Nya.” (HR Abu Dawud, al Nasa’I dan al-Hakim).

Inilah tugas berat yang harus dijaga oleh mushalli, yakni menyerasikan arah lahir dan batinnya dalam shalat. Shalat bagi peringkat pemula adalah Khidmah (pelayanan), bagi peringkat menengah adalah qurbah (pendekatan diri), dan bagi peringkat lanjut adalah wushlah (mencapai hadirat Tuhan). Pada peringkat awal mushalli menyembah Tuhan, pada peringkat menengah mushalli menghadirkan Tuhan, dan pada peringkat lanjut mushalli menyaksikan Tuhan. Karena manusia tersusun dari unsur jasmani dan ruhani, kiblat yang menjadi arah shalatnya tidab bisa lepas dari kedua unsur itu. Kiblat fisik bersifat fisik pula, dan kiblat ruhani bersifat ruhani pula. Pengabdian dan pelayanan kepada Allah mesti melibatkan kedua unsur itu. Hanya saja pada kenyataannya, kita lebih didominasi aspek jasmani sehingga aspek itulah yang menjadi patokan utama penentu sah tidaknya ibadah kita.

TAG