Tiada Hari Tanpa Haji

By | 19 June 2023 12:52:19 | 293 | 0
google
google

Tiada Hari Tanpa Haji

Oleh: Prof. Dr. H. Kasuwi Saiban

(Guru Besar Hukum Islam Universitas Merdeka Malang)

 

Haji merupakan salah satu ibadah ritual yang harus dilaksanakan oleh semua ummat Islam yang mampu. Sebagaimana ibadah yang lain, ritualisasi ibadah haji harus dilaksanakan sesuai dengan syarat, rukun, dan wajibnya. Adapun syarat melakukan ibadah haji adalah: Islam, baligh, berakal, dan mampu dalam hal biaya, kesehatan, keamanan, dan nafkah bagi keluarga yang ditinggalkan. Sementara itu dalam ibadah haji dibedakan antara rukun dan wajib. Rukun adalah sesuatu yang harus dilakukan, jika tidak maka hajinya tidak sah. Sedangkan wajib adalah sesuatu yang harus dilakukan, jika tidak maka hajinya tetap sah tetapi harus membayar dam (denda). Adapun yang termasuk rukun haji adalah: Ihram, wukuf, tawaf ifadhah, sa’i, mencukur rambut kepala atau memotongnya sebagian, dan tertib. Sedangkan yang termasuk  wajib adalah: Memulai ihram dari miqat (batas waktu dan tempat yang ditentukan untuk melakukan ibadah haji dan umrah), Mabit (menginap) di Muzdalifah, Melempar jumrah, Mabit di Mina, dan Tawaf Wada’ (tawaf perpisahan).

 

Makna Larangan Haji

Di samping syarat, rukun, dan wajib haji, orang yang melakukan ibadah haji juga harus memperhatikan hal-hal yang dilarang sebagaimana yang disebutkan dalam surat  al-Baqarah ayat 197 sebagai berikut: Artinya: (Musim)Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi (Syawal, Zulqa’dah, dan Zulhijjah), barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (perkataan/perbuatan yang terkait dengan syahwat), fusuq (berberbuat fasiq), dan jidal (berbantah-bantahan) saat mengerjakan haji. (QS.Al-Baqoroh:197).

Ayat di atas dapat dipahami bahwa secara garis besar ada tiga hal yang dilarang saat mengerjakan haji, yaitu: Rafats;  perkataan atau perbuatan yang mengarah pada timbulnya syahwat. Perkataan atau perbuatan yang bisa menimbulkan dorongan seksual harus dihentikan saat seseorang melakukan ibadah haji, termasuk oleh suami-isteri. Larangan ini harus dipatuhi oleh semua manusia yang sedang berhaji, sehingga mereka yang bersuami-isteri pun harus bisa menahan perkataan/perbuatan yang berkonotasi pada syahwat agar tidak terjadi pelanggaran terhadap larangan tersebut.

Adapun makna yang terkandung dalam larangan ini adalah keharusan manusia untuk berhati-hati dalam urusan seksual. Sebab tidak sedikit manusia yang jatuh tersungkur hanya karena nafsu seksual yang tak terkendali, bahkan kejahatan yang pertama terjadi di dunia ini adalah peristiwa pembunuhan Habil oleh Qobil yang ternyata juga disebabkan karena faktor seksual. Oleh karena itu kehati-hatian dalam urusan seksual yang sudah ditanamkan dalam ritual haji di tanah suci tersebut harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari sepulang dari ibadah haji. Termasuk hal-hal yang memancing timbulnya kejahatan seks, misalkan membuka aurat di tempat yang tidak diizinkan oleh syariat yang memancing adanya perzinaan.

Dalam kehidupan sehari-hari tidak sedikit kita saksikan mereka yang sudah melakukan ibadah haji mengumbar auratnya, bahkan tidak sedikit pula mereka yang sudah berulang kali melaksanakan ibadah haji malah berselingkuh dengan suami/isteri orang lain. Naudzu billah min dzalik!, lalu apa yang  mereka peroleh pasca melaksanakan haji itu? Nampaknya mereka hanya memposisikan haji sebagai ibadah ritual yang sama sekali tidak berdampak positif dalam kehidupan mereka. Padahal mestinya pengendalian rafats yang diajarkan dalam ritual haji ini harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Haji Tapi Keji

Larangan yang kedua adalah melakukan perbuatan fusuq. Secara etimologis fusuq berarti perbuatan yang keluar dari jalan kebenaran. Sedangkan secara terminologis, fusuq berarti perbuatan dosa besar, atau dosa kecil yang dilakukan secara terus menerus. Seseorang yang sedang melakukan ibadah haji dilarang untuk melakukan perbuatan dosa, baik yang terkait dengan hablumminallah (hubungan dengan Allah) maupun hablumminannas (hubungan dengan sesama makhluk Allah). Kehati-hatian  untuk meninggalkan perbuatan dosa yang berhubungan langsung dengan Allah nampak jelas menjiwai  semua umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah haji, bahkan mereka berlomba-lomba untuk mencari pahala yang lebih besar. Hal ini terlihat misalnya ketika mereka saling berebut memasuki pintu Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi untuk mendapat shaf pertama, berdesakan untuk mencium Hajar Aswad, dan berusaha bisa berlama-lama shalat di Raudhah dan munajat di dekat Ka’bah. Ini semua menunjukkan bahwa  ketika di tanah suci mereka benar-benar  ingin menjauhi perbuatan fusuq dengan memperbanyak amal shaleh. Di sisi lain, terkait dengan hablumminannas, mereka juga berusaha keras untuk menghindari perbuatan dosa terhadap sesama manusia, bahkan sebaliknya mereka lebih bersemangat untuk saling menolong dan memberi shadaqah kepada yang membutuhkan. Sementara itu masih terkait dengan hablumminannas mereka juga dilarang berburu binatang yang tentu berkibat pada menyakiti binatang dan merusak keseimbangan alam. Di samping itu mereka juga dilarang mencabut rerumputan dan memotong pepohonan, ini menunjukkan bahwa mereka yang  sedang melakukan ibadah haji harus bisa menjaga kelestarian lingkungan alam agar tetap terjaga keseimbangan ekosistem yang ada.

Lantas bagaimanakah setelah mereka sampai di tanah air masing-masing ? apakah perbuatan menghindari fusuq yang dilakukan di tanah suci tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari ? Itulah yang menjadi permasalahan besar. Sebab kenyataan yang kita lihat banyak di antara mereka yang sudah melakukan ibadah haji namun tetap berbuat fusuq. Bahkan perbuatan dosa besar yang sangat tidak pantas dilakukan oleh mereka yang sudah berprediket haji pun dilakukan, seperti korupsi dan mafia hukum. Dua hal tersebut bisa masuk kategori dosa besar, sebab korupsi merupakan pembunuhan terhadap rakyat miskin yang mestinya bisa hidup dengan uang yang dikorup tersebut. Demikian pula mafia hukum yang menginjak-injak nilai keadilan yang mestinya harus ditegakkan dengan perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). Namu yang terjadi sekarang  korupsi semakin menjadi-jadi, dan mafia hukum semakin tak terbendung. Ironisnya perbuatan  fusuq tersebut kadang dilakukan oleh orang-orang yang sudah berulang kali melakukan ibadah haji.  

 

Haji Berkualitas?

Selanjutnya larangan yang ketiga adalah jidal ; yaitu berbantah-bantahan. Perbuatan yang juga harus dihindari oleh mereka yang sedang melakukan ibadah haji  adalah berbantah-bantahan atau berdebat yang bisa berakibat pada saling menyakiti.  Hikmah yang terkandung dalam larangan jidal  ini paling tidak melatih mereka untuk mengendalikan sifat ego dan mau mengakui kesalahan. Sebab,  sebaik-baik manusia bukanlah mereka yang tidak pernah berbuat kesalahan, akan tetapi mereka yang mau mengakui kesalahan dan minta maaf setelah berbuat kesalahan. Oleh karena itu berebut untuk mengakui kesalahan dan menghindari sifat keakuan/ingin menang sendiri adalah perbuatan terpuji sebagai eksistensi dari menghindari jidal yang diajarkan melalui ritual haji. Jika mereka bisa melakukan hal tersebut saat menjalankan ibadah haji, lantas bagaimana ketika mereka sudah pulang? bisakah nilai-nilai ritual tersebut diimplementasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari?. Nampaknya hal itu masih merupakan permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar mereka yang sudah menyandang predikat haji. Bahkan dalam kenyataan yang sering kita saksikan melalui media elektronik mereka tidak segan-segan saling membantai jika berbeda pendapat tentang suatu permasalahan. Satu sama lain tetap mempertahankan ego masing-masing yang kadang sampai berujung pada saling menfitnah. Mereka lupa nilai-nilai ritual haji yang pernah dilakukan ketika di tanah suci kini sudah dicampakkan dan sama sekali tidak diimplementasikan dalam kehidupan.

Jika kita lihat secara nyata Indonesia merupakan negara yang jumlah jamaah hajinya sangat besar, setiap tahun lebih kurang 200 ribu orang. Dari segi kuantitas luar biasa, tapi dari segi kualitas masih sangat jauh dari harapan. Sebab dampak dari perilaku jamaah haji di Indonesia belum nampak signifikan mewarnai kehidupan sehari-hari di masyarakat, baik yang terkait dengan aktivitas ritual maupun sosial. Perzinaan semakin terang-terangan, korupsi jalan terus, keadilan semakin jauh, illegal logging tidak bisa dicegah (padahal ketika di tanah suci mencabut rumput saja tidak berani). Dengan kata lain aktivitas ibadah yang dilakukan jamaah haji di tanah suci nampaknya belum terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu kita perlu intruspeksi dan mawas diri terhadap perbuatan sehari-hari yang kita lakukan, terutama yang sudah melakukan ibadah haji, agar terjaga predikat sebagai haji mabrur yang balasannya tiada lain kecuali surga, maka implementasi nilai-nilai ritual ibadah haji sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Wallah a’lam bisshawab !

           

TAG